Kegelisahan adalah saudara kandung dari 2020 era covid19
Gelisah adalah salah satu dari rasa-rasa 'yang exist' di dunia kemanusiaan, hewan mungkin bisa gelisah tapi itu instinctual – berbeda dari hewan 'sphere of perception and influence' dari manusia itu cukup jauh. Kalau hewan itu hanya gelisah dengan apa yang radius 100m bisa mereka rasakan, manusia bisa gelisah dengan radius apapun dari 'ancaman' yang ada.
Dalam budaya China, ada 'pop understanding' bahwa krisis terdiri dari kanji dari 'danger' dan 'opportunity' dan walaupun secara kata-kata oleh linguist itu sebenernya terbukti tidak benar. Namun secara philosophical itu masuk akal, dalam krisis siapapun bisa merubah nasibnya, Krisis belum tentu adalah situasi yang buruk. Krisis berbeda dari kritis, krisis adalah kondisi di mana kita dipress untuk mengalami segala parameter yang minimal sedangkan kritis sebagai kondisi adalah di mana kita akan ditentukan hidup dan matinya sesuatu.
Bagi saya sendiri gelisah itu ibarat suatu 'spider sense' / lampu indikator merah untuk membuat saya bergerak untuk melewati sesuatu yang kritis. Di 2020 adalah kelak bisa menjadi masa krisis apabila penanggulangan pemerintah tidak maksimal,
Ketika masyarakat tidak mengembalikan psikologi confidencenya untuk mengkonsumsi seperti biasanya : produsen akan kehilangan insentif untuk memproduksi dan akhirnya barang-barang bisa menjadi lebih mahal untuk konsumen yang memiliki kantong pas-pasan dan akhirnya pasar akan berkontraksi. Demikian juga itu berlaku pada pabrik-pabrik yang ada di mana-mana. Sehingga inilah kenapa bila ada hal buruk terjadi pada humanitas kita tidak bisa mengetawai tanpa tahu diri karena KARMA itu ternyata sudah mengikat erat kita sebagai 'suatu peradaban besar' yang saling terhubung satu sama lain.
Sabotase diri sendiri di 2020 juga semakin parah dengan di-adakannya FEAR MONGERING yang berujung SOCIAL ENGINEERING masyarakat untuk TAKUT TERHADAP 'KEBIJAKAN COVID19' dan akhirnya PEMERINTAH alih-alih secara dewasa menyadari virus ini ada dan berdampak pada orang banyak. Jujur saya merasa sekarang ini ada DISPARITAS antara video di wuhan/realita wuhan yang orang tiba-tiba jatuh pingsan dan kejang-kejang karena panas tinggi itu dengan apa yang ada di Indonesia. Kita sudah mengalami masa lockdown total waktu lalu dan secara disiplin 100% patuh, tapi apa hasilnya? tidak efektif, akhirnya pun ada lockdown total lagi di Jakarta.
Pertanyaan dari team conspiracy realist di LN yang buat saya mikir ulang adalah sebagai berikut : 1) Wow COVID19 is really a DEADLY virus that you need to be tested to know you're sick or not? 2) Wow they're militarily enforcing mask, but in other country they said mask is not useful because it might be causing more harm (respiratory sickness outside of covid19) 3) It's crazy that politician and rich people doesn't want the first wave covid vaccine but then saying it's the people should be the first volunteer. (remember number 1, DEADLY VIRUS) 4) The news in tanzania sending 3 sample : goat, eggs and papaya, all positive covid19. Link > anehnya fact-lame-checker bilang itu fake, lihat aja yang publish aljazeera : berarti berita itu official ada. Dan presiden itu tidak akan omong kosong jelasnya. 5) If Covid19 was real, then what about the banning of the scientist from other opinion? why is so afraid? 6) Terus soal bukti bahwa seolah ada step-by-step preparation untuk insident covid ini : misal operation lockstep, ada paten2 berhubungan soal covid19, dll. 7) Negara2 maju sudah pada demo soal covid ini karena kebijakan terkaitnya dianggap tidak masuk akal dan merugikan menengah ke bawah. 8) 'Masker scuba', di luar negeri masih dipakai ... kenapa kok Indonesia merevisi kebijakannya sendiri? 9) Penting: saya tidak bilang covid ini tidak ada, hingga detik ini saya masih yakin itu ada dan covid19 ini lebih mematikan pada ras asia daripada ras lain. Cuma kalau orang asia tidak keluar dari blunder yang ada, pastinya kelak akan jadi kalah-kalahan aja di masa depan.
Nah kok tiba2 saya sebutkan fakta itu? ya itu adalah bagian dari kegelisahan saya. Kegelisahan yang sebenernya adalah permasalahan bersama daripada masalah pribadi. Juga melihat film dari watchdog documentary dari situasi masyarakat yang dekat dengan alam, juga membuat saya lebih berpikir.
Dekat dengan alam di masa sekarang ini apakah lebih beruntung daripada hidup di perkotaan ya? Soal krisis pangan ini ada berita sebelum-sebelumnya soal solar minimum, buat yang belum tahu ini adalah siklus natural matahari yang akan berpengaruh secara signifikan kepada humanitas.
Kita berada di 2020 dan menjadi waktu di mana jelek-jeleknya solar minimum itu, so jelek-jeleknya solar minimum tidak berarti = minimnya bahan pangan (ini masih perlu dikritisi). Tapi jelasnya kita berada di suatu zona yang bisa jadi menambah beban krisis karena adanya informasi kosong terhadap tantangan yang ada.
Dan saya sangat membenci tentunya dengan siapapun bila itu ada kesengajaan, pembuatan virus covid19 dan detonasinya yang ada di mana-mana itu. Kalau mengingat novel silat cina (tales demons and god) bisa dianalogikan dengan cerita soal beast-tide yang sangat overwhelming itu, alih2 bekerja sama untuk 'fortifying fortress' eh malah ada pengkhianat yang mensabotase kemanusiaan yang targetnya tentu apalagi kalau bukan penderitaan atau bahkan 'malthusian positive check'.
Akhirnya di detik-detik ini adalah sangat bijak untuk memaksimalkan apa yang bisa dilakukan saat WFH, yaitu olah raga dan jaga kesehatan, jaga supaya tidak terlalu stress dan perbanyak meditasi serta puasa. Namun jelas kegelisahan sebagai lampu merah yang kelap-kelip itu selalu ada, namun saya tidak memfokuskan mata saya pada hal itu. Lihat aja yang lain dan buat sesuatu, karena kegelisahan itu bukan permasalahan yang bisa diselesaikan secara individu – ini adalah masalah masyarakat. Dan tahu banyak itu bisa menjadikan diri semakin miserable, karena tahu tanpa bertindak menanggapi pengetahuan itu bener-bener menyiksa. Akhirnya ya cukup tahu aja ...
eh ... belum juga menyebutkan masalah economic collapse dan posibilitas perang dunia III (kontestasi barat dan timur) ahhh ...